Saya baru saja membuatkan undangan pernikahan untuk teman saya. Dasar sudah lama tidak mendesain, urusannya jadi agak ribet buat saya. Sepertinya banyak sekali keputusan yang harus dibuat. Pertimbangan-pertimbangan konseptual maupun teknis.
Minggu yang lalu saya mengamati desain website yang dibuat oleh teman saya. Ia memperlihatkan 2 desain dari website majalah anak-anak. Yang satu adalah website yang lama, yang satu lagi desain baru. Desain baru ini halaman utamanya lebih 'gaya' dibanding website lama. Memperlihatkan setting suatu padang yang luas, ada kupu-kupu yang terbang naik turun, dan asap knalpot mobil yang mengepul-ngepul. Bila salah satu icon di klik, kita akan masuk ke menu berikut, sesuai dengan teks yang muncul bila kursor didekatkan pada icon.
Desain baru lebih menarik, tapi menurut si bos, desain itu tidak memperlihatkan identitas si majalah. Malah menurutnya website lama lebih punya identitas. Kata temanku, " Padahal temen gue bikin desain (yang baru) itu pake konsep loh. Website yang lama sih... ga tau konsepnya apaan.". Kataku, " Bud, pake konsep atau enggak sih, ga menjamin pesan yang mau disampaikan nyampe ke orang yang buka website."
Dan saya jadi mikir sendiri tentang pernyataan saya itu.
Pada kenyataannya, suatu ide memang baru teruji keberhasilannya ketika hasil akhirnya sudah terwujud. Selama ia masih desain, ia belum 100 % diketahui kualitasnya.
Beberapa saat yang lalu saya membuatkan desain undangan pernikahan untuk teman saya. Walaupun senang karena proyek coba-coba ini akhirnya jadi juga, saya kaget juga ketika undangan itu sudah jadi. Karena masih coba-coba, saya tidak seberapa ngotot untuk ketemu langsung dengan percetakannya. Warna ungunya 'lari' entah ke mana, dengan terlalu banyak tone biru daripada pink. Lalu foto teman saya yang memang dibuat agak sephia, saturasinya lebih turun lagi sehingga wajah teman saya seakan-akan disepuh warna perak seperti pemain pantomim di mal-mal. Oh ya, antara cover dengan bagian dalam undangan juga tone ungunya saling berbeda, sehingga menurut saya penilaiannya jadi ga bisa fair. Gimana mau fair, kalo cover dan bagian dalam sama2 pake nuansa ungu, tapi tone nya beda? Kayaknya desainernya ga berusaha untuk membuatnya dalam satu nuansa.
Bahkan ketika suatu desain sudah terpampang di layar komputer, saya harus menunggu proses cetak yang mungkin cuma 5 % porsinya dibanding keseluruhan proses, tetapi saat itulah barangnya jadi, baru siap untuk penilaian akhir.
Dulu waktu saya kerja di kantor arsitek atau pas kuliah, seringkali saya punya ide-ide spektakuler. Tapi ketika harus mewujudkannya dalam gambar-gambar kerja, saya bingung sendiri. Hasilnya kebanyakan Butuh banyak vocabulary untuk bisa membuat wujudnya seperti yang ada dalam kepala saya.
Membuat undangan pastinya lebih sederhana urusannya daripada membuat suatu ruang atau bangunan. Kamu tidak bisa mencantumkan tulisan atau sembarangan menaruh icon di suatu bangunan. Makanya saya kagum sekali pada arsitek-arsitek yang bisa membuat kita merasakan 'sesuatu' ketika kita melihat atau mengalami desainnya. Di tangan penikmatlah desain kamu teruji, berhasil atau tidaknya. Bahagia banget kalo seseorang sampe bisa bilang suatu kata yang merupakan kata yang kamu digunakan dalam konsepmu.
By the way, warna undangan tadi adalah segelintir dari seluruh poin yang ada di barang tersebut. Selain itu, rasanya sih undangan itu bolehlah.... Ada satu temennya-temen saya yang liat undangan itu dan bilang,"wahhh.... ini kan menggambarkan perjalanan cinta lo, ya Da...!" Sampe situ, saya anggap pesan saya nyampe ke pemirsa =)
Thursday, January 24, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment