Kadang aku merasa duniaku agak terbatas. Seberapa luasnya duniaku kutandai dengan sebrapa banyak pengalaman 'mengalami' (experiencing) yang kupunya. Sesuatu yang tidak kutahu, tentunya tidak termasuk dalam duniaku.
Aku membayangkan diriku ada dalam kulit bakpau yang liat dan sulit dirobek ketika aku masih ada di bawah permukaan. Setiap kali kubaca buku dan bertemu orang baru, aku bisa menyundul sedikit kulit bakpau itu dengan kepalaku. Ketika aku bepergian dan mencoba hal baru, aku mulai bisa membuat lubang selebar bahu. Semakin intens pengalaman yang kudapat dan semakin jauh aku pergi tempat baru, semakin luas robekan yang kubuat, dan akhirnya ada lubang di tengah bakpau yang bisa kuatur sesuka hati.
Dunia yang agak terbatas ini secara terberi (given) merupakan kombinasi antara kehidupan pinggiran kota jakarta, campuran pengalaman mall dan bis kota, adiksi terhadap buku cerita, kebutuhan akan komputer, dan tidak adanya keluarga besar(bila berkumpul di jakarta keluargaku hanya terdiri dari: satu kakak ibuku dengan anaknya yang juga sudah punya anak. Bandingkan dengan teman lain yang berkumpul dengan 2 atau 3 kakek nenek, beberapa om dan tante, sejibun sepupu).
Perlahan-lahan meluas ketika aku kuliah ke Bandung, dan ketika bekerja sekarang. Tapi ada dunia-dunia lain yang... tidak kumengerti. Realita berbeda yang ditentukan oleh lingkungan kota dan kampung, gaya hidup dan persepsi.
Satu dunia yang sama sekali jauh dari imajiku diceritakan oleh Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Dengan sempurna ia menggambarkan seperti apa sesungguhnya menjadi orang Indonesia. Ikal kecil dan kawan-kawannya mengalami penuh apa yang disebut alam. Bermain hujan dan pelepah pisang. Berjalan kaki ke mana-mana, dekat dengan segala elemen alam. Lingkungan sekolah yang merangkul, menyayangi. Kamu kenal dengan seksama semua temamu, bahkan kenal ayah ibunya dan bisa bercerita berapa kakak adik mereka. Pengalaman mendaki lembah dan gunung yang luar biasa indah. Pengalaman melihat kemakmuran anak-anak PN Timah tanpa rasa rendah diri. Berjalan kaki berkilo-kilo hanya untuk ke sekolah. Semuanya dilakukan tanpa merasa kehilangan martabat. Rasa kehidupan yang murni dari anak2 kecil yang tidak kenal apa itu malu di hadapan globalisasi.
Hidup yang sangat intens, yang walaupun bisa saja menggantungkan mimpi jauh di sana, tetapi tebing yang menghalangi harus dihancurkan setiap saat. Setiap waktu. Kepercayaan diri dan kasih yang berkali-kali harus dipegang erat. Tak banyak waktu utuk merenung, tapi hidup mereka bukan tanpa imajinasi.
Itu adalah salah satu dunia yang tak pernah kualami, dan kadang kusesali. Apakah aku berharap harus berjalan berkilo2 ke sekolah dan sekolah di bangunan beratap bocor? Bukan itu. Mari kuceritakan satu lagi dunia yang agak mirip dengan Laskar Pelangi di atas.
Ayahku lahir di Majalengka, namun sejak usia SD diserahkan ke seorang meneer di Bandung, diasramakan di sebuah rumah Belanda kuno yang cantik. Berangkat sekolah dan ke sekolah minggu tiap akhir pekan. Di Majalengka, ayahku masih mengalami berbengal-bengal lari di pematang sawah, menangkap kodok dan sebagainya. Bila tahun baru Cina datang, ia mengintip dari pintu sambil menahan air liur melihat berbagai macam buah tersusun rapi di depan Toa Pe Kong. Berlari-lari di dapur besar rumah Majalengka, yang di dalam dapurnya masih ada sumur. Dijemput dengan pick up barang setiap kali pulang liburan dari Bandung.
Lalu 2 minggu lalu kubaca sebuah majalah franchise asing yang sudah beredar edisi Indonesianya. Majalah ini adalah majalah lifestyle dengan sasaran kalangan atas. Di dalamnya ditampilkan suatu artikel tentang Rudy Akili, seorang pengusaha dan kurator lukisan. Sekilas aku merasa akrab dengan bangunan rumah-galerinya, yang ternyata dirancang oleh arsitek Jeffry Budiman. It's such a great house. Ramah tapi berkharisma. Massa persegi setinggi 3 lantai adalah bagian yang paling menonjol dari rumah tersebut. Sebagai seorang kurator, Rudy Akili mempelopori pendirian private gallery yang juga terbuka bagi publik. Privat, karena milik pribadi dan terletak di rumah pribadi, tapi publik karena dengan appointment publik dapat menikmati juga galeri tersebut.
Kontribusinya sangat besar bagi dunia lukisan Indonesia, dan rumah galerinya betul-betul membuat penasaran. Tetapi bukan itu yang hendak kubahas di sini. Di situ tertulis bahwa museumnya tidak hanya untuk memamerkan lukisan saja, tapi banyak acara2 lain yang dapat dilakukan di situ. Misalnya pesta ulang tahun, wine testing, previewing lelang, private party, dan sebagainya. Semacam Met di NY yang lazim dipakai untuk pesta kalangan atas.
Lalu kubaca lagi sisa majalah itu, yang memuat restoran2 dengan sajian serupa berbagai bahan cantik yang ditata di atas piring porselen sangat besar, dengan cita rasa yang diciptakan sedemikian detail. Hal yang muncul di otakku adalah, seberapa banyak uang yang berputar di dunia itu, dan... seberapa signifikankah?
Seberapa signifikan jumlah yang dihabiskan oleh Miranda (Devil wears Prada) yang menyebabkan sepiring steak lengkap dibuang begitu saja berikut piring porselennya, hanya karena sedikit keterlambatan dari Andrea Sachs?
Seberapa intens kehidupan yang mereka punyai di dunia mengkilap sana, dibanding pengalaman berhujan-hujan dengan pelepah pisang?
Dalam suatu parameter, perbedaan itu diukur dalam berapa uang yang berputar dalam masing-masing gaya hidup. Tetapi itu bukanlah satu-satunya cara pandang. Bila materi disingkirkan dan jiwa dikedepankan, manakah pengalaman yang lebih murni?
Aku suka kemewahan. Lingkungan urban mengajarkanku artinya makan enak dan hidup nyaman. Tetapi tetap miris bagiku untuk membeli pakaian seharga jutaan atau makanan seharga ratusan ribu, karena yang muncul di kepalaku adalah 'demi apakah kuhabiskan sekian banyak hal untuk satu piring makanan?' Aku bisa menghargai kain tenun seharga jutaan rupiah. Tetapi sakit hati rasanya melihat sepotong celana jeans bermerk impor yang dibuat massal, juga seharga jutaan rupiah.
Jadi pada suatu titik, ada kemewahan yang tidak terbayangkan olehku, dan membuatku bertanya,'perlukah itu?'
Tentunya ada nilai berbeda yang kita pakai untuk menghargai pengalaman berhujan-hujan dengan kereta luncur pelepah pisang, atau ketika kita hadir dalam suatu acara bernama 'wine testing'(what the hell is that, I'm asking). Keduanya tentu bisa menjadi pengalaman 'yang tak terlupakan'.
Tetapi terbayang olehku wajah Ikal dan teman-temannya, yang memandang pesta wine lewat kaca jendela sambil berlari ria di tengah hujan bersama teman-teman. Membayangkan mata mereka yang berbinar demikian, seakan2 mencibir kehidupan urban yang penuh mimpi dan imaji.
No comments:
Post a Comment